Minggu, 13 Januari 2008
PT. Milik Keluarga.
(ditulis oleh Safitri Siswono, ST, MM)
Abstrak
Bisnis Keluarga di Indonesia memiliki peran yang sangat penting, bahkan diperkirakan menyumbang Produk Domestik Bruto lebih dari 80%. Keberhasilan bisnis yang mereka rintis dan pertahankan dapat mengangkat derajat suatu keluarga, namun dinamika yang terjadi sering kali menghasilkan konflik yang dapat memecah belah mereka. Usaha untuk mengelola dinamika bisnis keluarga ke arah positif membutuhkan profesionalisme yang tinggi, atau justru rasa persaudaraan yang kental. Tongkat estafet kekuasaan pun sering kali tidak berjalan mulus. Namun grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun telah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum. Dalam tulisan ini dibahas dinamika, profesionalisme dan suksesi yang terjadi, guna mengupayakan kelanggengan suatu bisnis keluarga.
I. Pendahuluan
Definisi dari bisnis keluarga yang dibahas pada tulisan ini adalah suatu perusahaan dimana pendiri atau keturunannya tetap menduduki posisi top management, atau dewan komisaris di perusahaan, atau tetap merupakan pemegang saham mayoritas.
Berdasarkan Standard & Poors 500 tahun 2003, 177 dari 500 perusahaan terbesar di Amerika Serikat (AS), atau lebih dari 35% nya, merupakan Bisnis Keluarga. Rata-rata kinerja mereka selama 10 tahun terakhir ini memiliki annual income growth yang lebih tinggi (21.1%) daripada perusahaan lainnya (12.6%). Perusahaan keluarga ini termasuk Dell, Wal-Mart dan Nike.
Di dalam negeri, berdasarkan diskusi bertema Economic Development: Does Entrepreneurship Matter? Yang diselenggarakan oleh Ernst & Young pada tahun 2002, ternyata lebih dari 90% pengusaha Indonesia merupakan eksekutif yang menjalankan bisnis keluarga mereka. Bisnis keluarga ini bahkan diperkirakan menyumbang lebih dari 80% Produk Domestik Bruto Negara kita.
Untuk sebagian orang, bergabung di bisnis keluarga merupakan suatu keputusan yang sangat natural, terutama bagi mereka yang sudah dipersiapkan sejak dini. Salah satu contohnya Group Alfa. Djoko Susanto, sang pendiri, telah melatih kelima anaknya berdagang sejak kecil. Dengan pertimbangan bakat dan ketertarikan pada bisnis keluarganya tersebut, Fenny Susanto, anak ke tiganya, yang diproyeksikan sebagai penerus pemegang kendali Group Alfa. Sekarang ini sang puteri mahkota sedang digembleng sebagai CEO PT. Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart)..
Namun adapula yang melihat kesempatan untuk meneruskan bisnis keluarga hanya sebagai salah satu pilihan karir yang dipertimbangkan. Seperti misalnya Sudhamek, CEO Group Garudafood. Selepas kuliah, Sudhamek memilih untuk berkarir di perusahaan lain. Setelah berkarir lebih dari 10 tahun, barulah beliau bergabung ke perusahaan yang didirikan oleh ayahnya tersebut. Contoh lainnya adalah bisnis keluarga Surabaya Post. Keempat anak Azis dan Tuti Azis, sang pendiri, tidak ada yang memilih untuk meneruskan usaha orang tua mereka. Akhirnya Surabaya Post pun dilego.
Idealnya, keputusan bergabung dengan bisnis keluarga harus didasari pada pengertian akan dinamika dan tantangan spesifik yang menanti di dalamnya. Dimana para eksekutif yang juga merupakan anggota keluarga menghadapi kondisi dimana satu kaki berpijak pada kejayaan pendiri atau pendahulunya, dan satu kaki lagi berusaha berlari untuk meraih kejayaan masa depan mereka sendiri dan penerusnya.
Tulisan ini akan membahas mengenai dinamika yang terjadi dalam bisnis keluarga, profesionalisme yang dibutuhkan, serta proses suksesi yang biasanya terjadi.
II. Dinamika Bisnis Keluarga
Dinamika bisnis keluarga disebabkan karena adanya tiga komponen yang tumpang tindih, yaitu keluarga, bisnis dan kepemilikan. Hal tersebut sering kali menyebabkan keputusan manajemen menjadi lebih rumit. Biasanya pemilik perusahaan akan mengedepankan urusan keluarga. Namun hal ini menjadi tidak berlaku lagi, jika sang pemersatu dalam keluarga, atau biasanya sang pendiri, sudah tidak ada atau tidak dominan lagi di dalam bisnis tersebut.
Hal ini terjadi pada bisnis keluarga Nyonya Meneer. Berdasarkan referensi, konflik muncul sejak tiga tahun setelah sang pendiri meninggal. Ketika itu Chales Saerang masih menjabat sebagai Asisten Pemasaran. Pemecahan konflik ini dilakukan dengan proses jual beli kepemilikan saham diantara keluarga yang berlangsung hampir dua puluh tahun.
Konflik keluarga pun pernah menggores Grup Blue Bird, sesaat setelah meninggalnya perintis grup tersebut, Mutiara Djoko Soetono. Peranannya yang demikian kuat, membuat hampir semua keputusan sangat tergantung padanya. Namun, ketika beliau tidak ada dan pimpinan berganti ke generasi berikutnya, peranan yang dominan seperti itu pun mulai berubah. Buntutnya, Mintarsih A. Latief, salah satu keluarga pemilik, hengkang dan mendirikan Gamya, yang bergerak pada bisnis yang serupa.
Masalah yang kerap timbul dalam perusahaan keluarga sering kali menyebabkan anggota keluarga yang lebih muda enggan untuk bergabung. Dan sebaliknya, kemegahan perusahaan keluarga menyebabkan anggota keluarganya berebut posisi dalam perusahaan tersebut. Sebaiknya, dalam merekrut anggota keluarga dijelaskan dengan gamblang semua kesempatan dan tantangan yang akan mereka hadapi. Hal ini juga dapat dijalankan dengan memagangkan terlebih dahulu para keluarga yang ingin bergabung, sehingga mereka dapat memperhatikan kondisi perusahaan dengan lebih seksama. Cara ini banyak dilakukan oleh para pemilik perusahaan, seperti di grup Alfa. Penanaman nilai-nilai keluarga dalam bisnis keluarga juga sangat penting. Namun harus ditekankan bahwa ada perbedaan tajam antara kepentingan perusahaan dan pribadi. Untuk menghindari konflik, sebaiknya sejak awal ditetapkan tanggung-jawab dan wewenang masing-masing anggota keluarga.
Salah satu kesulitan manajerial yang terdapat dalam perusahaan keluarga adalah kompleksitas antar anggota keluarga dalam memposisikan dirinya. Terutama orang tua dan anak yang menghadapi hubungan keluarga dan bisnis yang tercampur aduk. Sehingga sang orang tua selalu melihat calon penerusnya sebagai “anak” yang tidak pernah mampu. Sedangkan sang anak yang ambisius melihat pendahulunya sebagai “orang tua” yang keras kepala. Secara ekstrim, hal ini terjadi pada kerajaan bisnis asuransi AIG. Tidak tahan dengan kepemimpinan sang ayah yang juga pendiri AIG, yaitu Maurice Greenberg, sang anak Evan Greenberg keluar dari AIG dan bergabung dengan ACE, yang merupakan perusahaan asuransi pesaing langsung AIG.
Sesungguhnya, kehadiran anggota keluarga sebagai pimpinan di perusahaan sering kali memberikan suatu keuntungan tersendiri. Karena mereka umumnya memiliki motivasi khusus dalam kesuksesan perusahaan, yang notabene juga kesuksesan keluarga mereka. Sebagai tambahan, reputasi sang Successor dalam keluarga dan komunitas bisnis ditentukan oleh kemampuannya dalam meneruskan bisnis keluarga ini. Sehingga biasanya mereka akan berjuang lebih keras, dan setia menghadapi semua pasang surut perusahaan.
Seperti perusahaan pada umumnya, perusahaan keluarga juga memiliki budaya organisasi. Budaya ini ditentukan oleh tiga komponen yang dirumuskan oleh W. Gibb Dyer, Jr., yaitu keluarga (family), bisnis (business) dan tata kelola perusahaan (governance).
Business Pattern
Paternalistic
Laissez-faire
Participation
Professional
Governance Pattern
Paper Board
Rubber-Stamp Board
Advisory Board
Overseer Board
Family Pattern
Patriarchal
Collaborative
Conflicted
Cultural Configuration of the Family Firm
Sumber: W. Gibb Dyer, Jr., Cultural Change in Family Firms (San Fransisco: Jossey-Bass, 1986), p.22.
Pada awalnya, menurut Dyer, suatu perusahaan keluarga umumnya memiliki budaya yang terbentuk dari pola bisnis yang paternalistic, pola keluarga yang patriarchal dan pola tata kelola perusahaan yang berdasarkan rubber-stamp dari dewan direksi. Artinya, relasi keluarga lebih penting dari pada kemampuan professional, sang pendiri merupakan pemimpin yang dominan serta memiliki kekuasaan untuk menentukan yang tidak tergoyahkan, dan dewan direksi secara otomatis akan mendukung segala keputusan sang pendiri perusahaan tersebut.
Sejalan dengan waktu, proses perpindahan kepemimpinan dalam suatu perusahaan pun tidak terelakan lagi. Baik perpindahan itu kepada generasi penerus keluarga maupun ke pihak professional. Hal ini pastinya akan merubah konfigurasi budaya yang semula dianut. Biasanya sang successor akan berusaha untuk mengurangi porsi dominan sang pendiri, walaupun belum tentu berhasil. Dalam proses tersebut, konfigurasi budaya yang semula erat melekat pada perusahaan mungkin tidak efektif lagi. Contohnya seperti pada kasus Nyonya Meneer dan Grup Blue Bird di atas.
Bisnis keluarga yang berkembang dengan baik, sampai suatu titik tertentu pasti akan membutuhkan keahlian professional yang lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, ternyata di dalam keluarga terdapat talent professional yang sangat baik dan cocok dengan bisnis keluarga tersebut. Contohnya, Sudhamek yang mampu membesarkan usaha keluarganya, Garudafood. Aburizal Bakrie yang mampu mengembangkan usaha yang dirintis ayahnya, Achmad Bakrie, menjadi kerajaan bisnis yang menggurita. Namun ada pula yang memprioritaskan kelanggengan bisnis keluarga, dan tidak ngoyo menjadikan keturunan mereka sebagai pemimpin perusahaan. Seperti contohnya, grup Kalbe. Setelah pendirinya, maka Presiden Direktur Kalbe selalu professional, dan bukan keluarga. Namun bisa kita lihat bahwa performa Kalbe selalu baik dari tahun ke tahun, dan terus berkembang.
Seseorang yang mengambil keputusan untuk berkarir dalam bisnis keluarganya sebaiknya sudah mengerti akan dinamika antara bisnis dan keluarga yang akan dihadapinya. Kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara profesional juga harus dapat diwujudkan, bukan hanya untuk memenangkan persaingan antar keluarga dalam memperoleh tampuk pimpinan perusahaan, namun yang terutama adalah untuk kelanggengan dan pengembangan dari perusahaan itu sendiri.
III. Profesionalisme Dalam Bisnis Keluarga
Dalam mengelola bisnis keluarga, sang pendiri maupun penerus yang menjadi pimpinan harus menetapkan tujuan dan prioritas dengan matang. Apakah kelanggengan perusahaan? Atau kepemimpinan penerus dalam perusahaan? Idealnya, keduanya dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini dapat dilakukan jika sang penerus dibekali dengan ilmu dan pengalaman yang memadai. Sehingga mereka dapat tumbuh sebagai professional yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan Namun jika sang penerus tidak mampu atau tidak berminat, maka harus ada skenario lain. Intinya, dalam mengembangkan perusahaan keluarga, profesionalisme tetap sangat dibutuhkan. Darimana profesionalisme itu berasal adalah masalah lain.
Kehadiran manajemen yang baik tentunya sangat dibutuhkan dalam semua bisnis. Namun dinamika bisnis keluarga yang unik membutuhkan penerapan manajemen yang khusus, dimana perusahaan dapat berkembang secara optimal dengan tetap mengakomodir fungsi keluarga. Secara empiris dapat dilihat bahwa keharmonisan hubungan antar keluarga dapat mempengaruhi kelanggengan perusahaan keluarga mereka. John L Ward dari Kellogg School of Management (1997) merumuskan bahwa manajemen bisnis keluarga harus mampu mewujudkan ke-enam hal berikut:
1. Mampu mendorong lahirnya ide dan pemikiran strategis yang segar.
2. Mampu memikat dan mempertahankan profesional non keluarga yang ulung.
3. Mampu menciptakan organisasi yang flexible dan inovatif.
4. Mampu mendapatkan dan mengembangkan modal.
5. Mampu mempersiapkan penerus kepemimpinan.
6. Mampu memanfaatkan keuntungan dari kondisi kepemilikan keluarga.
Dalam perusahaan keluarga, karyawan yang merupakan profesional non keluarga sering kali terjebak dalam situasi yang kemudian membuat mereka menjadi frustasi, seperti terlibat dalam peperangan keluarga dan ketidak jelasan jenjang karir. Kondisi ini dapat menyebabkan para karyawan, termasuk yang handal, menurun kualitas kerjanya atau bahkan keluar dari perusahaan. Hal ini harus diantisipasi dan disiasati sejak awal. Di grup Kalbe misalnya, jenjang karir bagi profesional non keluarga terbuka lebar. CEO Kalbe Farma yang sekarang, Johannes Setijono, merupakan profesional yang merintis karirnya di grup ini sejak lama. Namun sebaliknya di grup Bakrie, kesempatan bagi profesional non keluarga kelihatannya tidak seluas ini.
Kedua sistem ini positif tergantung kebutuhan perusahaannya. Bagi profesional yang masuk ke dalam bisnis keluarga, sebaiknya mengetahui resiko tersebut sejak awal sehingga tidak kecewa di kemudian hari. Sedangkan bagi pemilik perusahaan, sebaiknya menyiapkan successor yang profesional sejak jauh-jauh hari atau dengan lapang dada menyerahkan tampuk pimpinan pada orang luar.
Untuk menjaga profesionalime dalam bisnis keluarga, dapat disusun suatu Family Business Constitution atau tata laku bisnis keluarga. Yaitu, suatu aturan tertulis untuk mengatur keluarga dalam berbisnis. Hal ini dilakukan untuk membantu keluarga dalam menghadapi krisis dan perubahan yang terjadi dalam perusahaan, termasuk adanya suksesi. Tujuannya adalah untuk mengelola konflik yang dapat terjadi.
Grup Blue Bird adalah salah satu contoh yang menerapkan Family Business Constitution ini, untuk mengatur hal-hal mengenai perusahaan yang berkaitan dengan keluarga. Seperti, soal pemilihan CEO, boleh tidaknya suami/ istri masuk ke dalam perusahaan, siapa yang akan mewakili keluarga dalam komisaris atau manajemen, dan sebagainya.
Bisnis keluarga umumnya menghadapi tantangan profesionalisme yang unik. Penguasaan bisnis, pemikiran yang visioner, dan inovatif saja tidak cukup. Seorang pemimpin pada bisnis keluarga juga harus memiliki kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif serta mampu menjaga keharuman nama keluarga. Hal ini menjadi salah satu motivasi bagi pendiri bisnis untuk tetap mewariskan tampuk pimpinan perusahaannya kepada anggota keluarga mereka.
IV. Proses Suksesi
Dalam siklus yang natural, pendiri perusahaan harus menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada penerusnya. Ada empat pilihan yang menjadi alternatif, yaitu:
1. Menyerahkan kepada anggota keluarga yang biasa disebut sebagai putra mahkota. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Konimex, dimana posisi pimpinan perusahaan sudah diserahkan oleh Djoenaedi Joesoef kepada putranya Edijanto Joesoef.
2. Menyerahkan kepada professional. Contohnya, hal ini dilakukan pada grup Kalbe, dimana posisi pimpinan diserahkan kepada Johannes Setijono.
3. Tetap memegang saham, namun keluarga berbisnis yang lain. Contohnya yang dilakukan konglomerat Orde Baru, Sudwikatmono. Keempat anaknya mengembangkan jaringan bisnisnya sendiri.
4. Menjual saham dan membagi warisan. Mungkin tidak ada perusahaan keluarga yang merencanakan model ini. Kalau pun terjadi, mungkin karena sang pemilik meninggal dunia dan tidak ada keturunannya yang ingin meneruskan.
Pada tulisan ini, pembahasan akan dilakukan pada proses suksesi tipe pertama yaitu menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada anggota keluarganya sendiri. Tugas mempersiapkan anggota keluarga untuk mengemban posisi pimpinan perusahaan tidaklah mudah. Tuntutan akan kemampuan profesionalisme dan manajerial terkadang tercampur baur dengan emosi dan kepentingan keluarga. Untuk mempersiapkan para successor ini pun membutuhkan proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Proses ini banyak memakan korban, namun tidak sedikit pula perusahaan yang berhasil. Di Jepang, ada perusahaan keluarga yang terus hidup dan berkembang selama 40 generasi, yaitu bisnis hotel yang didirikan Hoshi pada tahun 717. Di Indonesia, yang iklim bisnisnya masih tergolong muda, grup Sampoerna mampu bertahan sampai generasi ke empat, sebelum akhirnya menjual saham mereka ke Phillip Morris. Generasi ke tiga pun sudah mulai berkiprah di beberapa grup bisnis keluarga, seperti Grup Sosro, Bakrie,dan Djarum.
Berikut ini adalah tahapan yang harus dilalui dalam proses suksesi menurut Justin G Longenecker dan John E. Schoen.
Tahap I: Pre Business Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bersinggungan dengan bisnis keluarga sebagai bagian dari proses tumbuh kembangnya. Belum ada rencana formal yang pasti untuk menjadikan sang anak sebagai successor di perusahaan. Namun hal ini menjadi landasan dalam pembentukan karakternya yang akan berpengaruh pada proses suksesi di kemudian hari. Pada tahap inilah, Feny Susanto yang masih balita sering diajak ke toko ayahnya yang merupakan pimpinan grup Alfa.
Tahap II: Introductory Stage
Tahapan ini melibatkan pengenalan dini mengenai perusahaan kepada calon penerus. Seperti pengenalan terhadap orang-orang yang terlibat dalam perusahaan, peralatan-peralatan yang dipergunakan oleh perusahaan dan produk yang dihasilkan serta dijual oleh perusahaan, dan sebagainya.
Tahap III: Introductory Functional Stage
Pada tahap ini, calon penerus mulai bekerja paruh waktu di perusahaan keluarga. Seperti Feny Susanto yang selalu membantu di toko setiap liburan sekolah. Tahapan ini juga termasuk pendidikan formal dan pengalaman organisasi yang diperoleh sang calon penerus.
Tahap IV: Functional Stage
Tahapan ini dimulai saat calon penerus mulai bekerja secara full-time, biasanya setelah menyelesaikan pendidikan formalnya. Biasanya pada tahap ini, mereka bekerja pada posisi entry-level atau asistant, dan di rotasi di beberapa bagian untuk mendapatkan pengalaman yang menyeluruh.
Tahap V: Advanced Functional Stage
Pada tahap ini sang calon penerus sudah memiliki kemampuan professional yang cukup baik sehingga dipromosikan ke posisi manajerial. Pada posisi ini, mereka dipercaya untuk mengelola sebagian dari perusahaan, misalnya suatu departemen.
Tahap VI: Early Succession Stage
Tahapan ini terjadi saat sang calon penerus menjabat sebagai Direktur Pengelola ataupun Presiden Direktur. Namun pada penerapannya, masih sebagai pimpinan, secara de jure. Mereka telah dipercaya mengelola perusahaan, walaupun masih di bawah pengawasan ketat dari orang tua mereka. Kemampuan memimpin tidak dapat diturunkan semudah posisi pemimpin itu sendiri. Sang penerus masih harus belajar banyak dalam memimpin seluruh perusahaan, dan sang pendahulu masih ragu untuk memberikan seluruh wewenang untuk mengambil keputusan. Hal ini yang terjadi sekarang pada Feny Susanto di grup Alfa yang membawahi 20 ribu karyawan.
Tahap V: Mature Succession Stage
Pada tahap ini, proses transisi kepemimpinan telah berlangsung secara tuntas. Successor telah diangkat sebagai pimpinan perusahaan secara de facto. Tahap ini biasanya terjadi dua-tiga tahun setelah tahapan sebelumnya.
Tidak semua proses suksesi dapat berjalan mulus. Banyak pula calon penerus yang justru hengkang dari perusahaan saat proses suksesi ini berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena konflik yang berkelanjutan dengan sang pendahulunya. Demi kelangsungan hidup perusahaan, banyak pula pendiri yang memilih untuk mengangkat profesional sebagai penggantinya. Penerus perusahaan dari luar ataupun keluarga sendiri semuanya dapat menjadi positif, tergantung dengan kebutuhan perusahaan dan kesiapan pemiliknya.
V. Kesimpulan
Bisnis keluarga seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat mengangkat derajat keluarga. Di sisi lain, menyimpan potensi konflik yang justru dapat memecah keluarga tersebut. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga sebaiknya didasari oleh pengetahuan yang cukup mengenai bisnis serta dinamika yang akan dihadapi, dan bukan hanya keputusan emosional atau keterpaksaan belaka.
Profesionalisme yang baik sangat dibutuhkan dalam semua bisnis, tidak terkecuali dalam perusahaan keluarga. Namun karena dinamikanya yang unik, suatu bisnis keluarga membutuhkan pemimpin dengan kompetensi khusus yaitu kompetensi akomodatif yang mampu mempersatukan anggota keluarga secara kondusif.
Secara umum, proses suksesi dalam perusahaan keluarga dilakukan kepada generasi penerus yang merupakan keturunan langsung dari pendiri. Namun dalam beberapa kasus, karena alasan yang kuat, tampuk kepemimpinan diberikan kepada pihak profesional. Kedua hal ini bisa jadi positif, tergantung dari kebutuhan perusahaan serta kesiapan pemilik dalam menghadapi konsekuensi dari keputusan suksesi tersebut.
Daftar Pustaka
Justin G Longenecker, Carlos W Moore, J William Petty, Leslie E Palich, “Small Business Management – an Entpreneurial Emphasis”, South-Western, Internatioanl Edition, 2006.
SK. Zainuddin, Yus Husni Thamrin, “Rising to the Challenge”, Globe Asia, Vol. Number 4, May 2007.
Teguh Pambudi, “Sebuah Keniscayaan Bernama Suksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Firdanianty, “Beginilah Cara Mereka Bersuksesi”, SWA Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007.
Teguh Pambudi, “Merevisi Paradigma Bisnis Keluarga”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Henni T Soelaeman, “Kepemilikan Saham Boleh Berceceran, Asal...”, SWA Sembada, No. 10/ XIX/ 13, 27 Mei 2003.
Joseph Weber, Louis Lavele, Tom Lowry, Wendy Zellner, Amy Barret, “Family, Inc”, BusinessWeek, No.3857, November, 20, 2003.
Tentang Penulis:
Safitri Siswono, ST., MM adalah alumni Prasetiya Mulya Business School, Program Eksekutif Muda Angkatan 8. Pernah bekerja di PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan posisi terakhir sebagai Business Development Manager. Tahun 2004, mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consumer foods, PT. Ciptafood Makmur Mandiri. Selain itu, juga memimpin perusahan keluarga PT. Arthaguna Ciptasarana.
Senin, 06 Agustus 2007
Entrepreneurship, Dapatkah Dimediasikan Oleh Sekolah Bisnis?
Dapatkah Dimediasikan Oleh Sekolah Bisnis?
(Ditulis oleh Safitri Siswono, ST, MM)
Dimuat pada: Forum Manajemen Prasetiya Mulya No. 91, Year XXI, April 2007.
Abstrak
Pada era pasca krisis di Indonesia, terjadi euphoria berkaitan dengan Entrepreneurship. Trend ini diikuti dengan tumbuhnya sekolah-sekolah bisnis di tanah air, bahkan ITB yang notabene selama ini adalah penghasil Sarjana Teknik, ikut mendirikan sekolah bisnis dan manajemen.
Entrepreneur memang terlihat sebagai suatu profesi yang sangat “kinclong”. Apalagi kalau kita lihat daftar empat puluh orang terkaya di Indonesia versi Forbes tahun 2006, semuanya adalah Entrepreneur. Banyak dari mereka pun yang memulainya dari nol, dan sekarang sudah menjadi raksasa industri yang mampu menyediakan lapangan kerja luas bagi masyarakat Indonesia.
Tulisan ini membahas bagaimana sekolah bisnis dapat menjadi mediasi untuk melahirkan Entrepreneur yang handal. Atau, apakah sebetulnya hal ini hanya semata-mata proses yang random belaka?
I. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir era 90an lalu, menyebabkan banyak raksasa industri yang tumbang. Kelihatannya hal tersebut membuka mata pemerintah berkaitan dengan timpangnya struktur usaha yang terlalu memihak pada industri besar. Menariknya, pada era pasca krisis justru terjadi euphoria berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah. Banyak usaha pemerintah, terutama dana, yang dicurahkan untuk pengembangan sektor ini, seperti kredit lunak dari Bank Pemerintah dan program pendampingan usaha.
Makin maraknya dunia Entrepreneurship ini memang patut untuk didukung, karena merekalah yang menggerakan roda perekonomian suatu negara. Berdasarkan data BPS 2005, sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) mampu menyerap 96% angkatan kerja di Indonesia, dengan menyumbang lebih dari 54% PDB Nasional. Selain itu kita juga harus mempertimbangkan pentingnya peranan para Entrepreneur yang telah berhasil menjelma menjadi raksasa Industri secara mandiri, seperti Rachman Halim (Gudang Garam), Eddy William Katuari (Wings), Boenjamin Setiawan (Kalbe) dan Arifin Panigoro (Medco).
Jika peranan Entrepreneur ini sangat penting bagi suatu negara, apakah mereka ini bisa diciptakan? Apakah seni dan ilmu Entrepreneurship ini bisa diajarkan? Ataukah kelahirannya hanya merupakan suatu kebetulan, dan sukses atau tidaknya para Entrepreneur ini hanya merupakan suatu proses yang random?
Kenyataannya, Entrepreneurship telah menjadi salah mata kuliah penting di sekolah-sekolah bisnis ternama di Amerika Serikat (AS), seperti MIT Sloan, Kellogg, Stanford dan Harvard. Apakah juga akan menjadi bagian dari sekolah bisnis di Indonesia? Sebenarnya, bagaimanakah proses entrepreneurial itu?
II. Faktor yang Mempengaruhi Proses Entrepreneurial
Adanya seorang entrepreneur terjadi dari suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Proses lahirnya Entrepreneur baru diawali dengan munculnya suatu ide atau inovasi. Namun hanya seorang yang memiliki kondisi pemicu khusus lah yang akan mengimplementasikannya, dan tidak semua inovasi yang diimplementasikan dapat berkembang. Hal-hal tersebut sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu Personal, Sosial dan Lingkungan. Proses entrepreneurial dan faktor-faktornya dijabarkan dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Model Proses Entrepreneurial
(Sumber: Carol Moore’s Model, ”Academy of Management Best Papers Proceedings”, 1986)
Innovation, atau Inovasi, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu akan diwujudkan menjadi suatu bisnis. Hal ini tergantung dari faktor-faktor, seperti prospek karir di tempat lain, keluarga, role model, keadaan ekonomi, ketersediaan sumber daya, dan sebagainya. Contohnya, Alexander Fleming menemukan penicillin namun tidak pernah mengembangkannya menjadi suatu obat yang berguna. Barulah 10 tahun kemudian, Ernst Chain dan Howard Florey menggunakannya untuk mengobati pasien di Perang Dunia II. Sekarang kita ketahui bahwa Penicillin merupakan salah satu terobosan fenomenal dalam dunia farmasi. Fleming memang penemunya, namun dibutuhkan seorang Entrepreneur untuk mengembangkannya.
Triggering Events, atau kondisi pemicu, selalu terjadi sebelum lahirnya seorang Entrepreneur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mu’minah (MTI-ITB, 2001) atas 8 orang pengusaha paling sukses di Pangandaran, menunjukkan bahwa semua pengusaha tersebut memulai usahanya karena keterpaksaan. Di sisi lain, banyak juga yang menjadi Entrepreneur karena meneruskan usaha keluarganya, seperti Eddy William Katuari (Wings). Sedangkan Abung Sulyan Syarief adalah seorang karyawan perusahaan, saat menyadari bahwa karirnya mentok dan bertekad merintis bisnis sendiri. Tahun 2006, perusahaannya yang bergerak di bidang merchandising, PT. Purnamajaya Bakti Utama, terpilih menjadi salah satu The Best Enterprise-50 versi majalah SWA.
Implementation dari suatu ide merupakan hal yang sangat penting dalam membangun usaha. Contohnya mengenai software house yang tumbuh menjamur di negeri ini, namun software pendidikan yang dikembangkan PT. Pesona Edukasi, pimpinan Hary Sudiyono, memang istimewa. Salah satu produknya, Pesona Fisika, bahkan digunakan pada program matrikulasi Jurusan Fisika di Stanford University, AS.
Growth, atau pertumbuhan, dari suatu perusahaan tergantung dari faktor internal dan externalnya. Pada era 90’an, perusahaan banyak menggunakan hutang untuk mengembangkan usaha mereka. Namun hal ini menuai bencana, saat krisis finansial tahun 1997 menerpa Asia. Pada saat itu, Trihatma Haliman (Podomoro) justru meraup untung dengan memborong aset-aset BPPN. Hal ini dapat dilakukan karena Podomoro biasa berbisnis dengan modal sendiri, sehingga tidak terlilit hutang pada saat itu, dan cukup liquid untuk membeli aset. Setelah krisis berlalu, Podomoro semakin menguatkan posisinya sebagai raja properti di Indonesia.
Sebenarnya, faktor apakah yang akan mempengaruhi seseorang untuk memilih karir sebagai Entrepreneur? Bahasan untuk pertanyaan ini, akan menggunakan pendekatan dari atribut personal, lingkungan dan faktor sosial lainnya.
II.1. Faktor Atribut Personal
Studi pada tahun ’90an di Inggris menemukan bahwa Entrepreneur memiliki ”internal locus of control”, dan bukan ”need for achievement”, yang lebih tinggi dari Nonentrepreneur. Bygrave (1997) menyimpulkan bahwa karakter penting yang ada pada Entrepreneur sukses adalah seperti pada Tabel 1 berikut, dan disebut 10 D.
Dream
Entrepreneur adalah pemimpi yang mampu mengimplementasikan mimpinya.
Decisiveness
Entrepreneur mampu membuat keputusan dengan cepat, dan tidak menunda-nunda pekerjaan.
Doers
Entrepreneur secara cepat bertindak untuk mengimplementasikan keputusannya.
Determination
Entrepreneur tidak mudah menyerah.
Dedication
Entrepreneur memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap usahanya. Sering kali mereka bekerja 12 jam per hari, 7 hari per minggu, untuk membuat usahanya berhasil.
Devotion
Entrepreneur mencintai bisnis mereka.
Details
Entrepreneur memiliki perhatian ke detail yang sangat tinggi.
Destiny
Entrepreneur merasa dapat menentukan nasibnya sendiri.
Dollars
Entrepreneur memandang uang bukan sebagai motivasi utama, melainkan ukuran keberhasilan mereka.
Distribute
Entrepreneur membagikan kepemilikan usahanya kepada karyawan inti yang sangat menentukan kesuksesan usaha tersebut.
Tabel 1. Karakter 10 D
II.2. Faktor Lingkungan
Role model, baik dalam keluarga maupun pekerjaan, merupakan faktor lingkungan yang paling penting dalam membentuk Entrepreneur. Karena itu sering kita lihat, banyak pengusaha sejenis terkumpul di suatu daerah. Seperti misalnya di dalam negeri adalah daerah Jepara dengan industri furniture kayunya, dan di AS adalah Silicon Valley dengan high-tech entrepreneursnya.
Di Babson College, AS, lebih dari 50% mahasiswa yang mengambil mata kuliah Entrepreneur berasal dari keluarga pengusaha. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (MTI-ITB, 1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan bahwa 13 diantaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Namun Bill Gates, salah satu Entrepreneur paling sukses di muka bumi ini, berasal dari keluarga pengacara dan bukan pengusaha.
Di AS pada era 80 dan 90’an, MIT diyakini merupakan universitas penghasil Entrepreneur paling banyak di negara tersebut. Bahkan pada tahun 2007 ini, sekolah bisnis MIT Sloan membukan program khusus MBA Entrepreneurship and Innovation dan bukan hanya mata kuliah lagi.
II.3. Faktor Sosial Lainnya.
Tanggung jawab keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk menjadi Entrepreneur. Lebih mudah bagi seorang lajang yang berusia 25 tahun untuk memulai bisnis, dibandingkan dengan seorang suami berusia 45 tahun dengan 2 anak dan istri yang tidak bekerja. Majalah SWA dalam riset yang dilakukan untuk penyaringan Enterprise-50 tahun 2006, juga menemukan bahwa semakin banyak Entrepreneur yang merintis usahanya sejak awal usia 20-an. Sedangkan beberapa tahun sebelumnya, lebih banyak yang menimba ilmu secara profesional terlebih dulu dan kemudian terjun pada usia 40-an. Usia berapa yang paling tepat sesungguhnya adalah trade-off antara pengalaman (seiring bertambahnya usia) dengan energi optimisme (yang ada pada jiwa muda).
Pada saat menjalankan bisnis, tidak semua Entrepreneur memiliki kemampuan manajemen yang baik. Baik dalam hal keuangan, hukum, maupun pemasaran. Di AS, pemerintah maupun institusi pendidikan di setiap negara bagian memiliki Inkubator Bisnis yang fungsinya bukan hanya kantor dengan sewa rendah, namun juga memberikan konsultasi dan asistensi bisnis secara gratis.
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi proses entrepreneurial ini dapat dimediasikan oleh sekolah bisnis? Mungkin, iya. Dengan adanya sekelompok orang yang memiliki ketertarikan sama terhadap Entrepreneurship, dapat menjadi ajang penggodokan untuk melahirkan inovasi yang lebih matang. Jika ada seseorang dari kelompok tersebut kemudian menjadi Entrepreneur yang sukses, hal ini akan memacu anggota lainnya. Adanya mata kuliah Entrepreneurship di sekolah bisnis juga akan membantu melahirkan Entrepreneur dengan intelektualitas tinggi, dan diharapkan dapat membangun suatu enterprise yang lebih baik.
III. Mengevaluasi Prospek Bisnis Baru
Jika kita menemukan suatu inovasi untuk bisnis baru, bagaimana cara kita mengevaluasi prospek tersebut? Atau bagaimana pihak independen yang terkait, seperti calon investor dan kreditor, akan menilai tingkat kesuksesan prospek bisnis tersebut?
Ada tiga komponen yang penting dalam mengevaluasi prospek bisnis, yaitu Kesempatan, sang Entrepreneur sendiri dan Sumber Daya yang tersedia. Semuanya mengandung ketidak pastian. Di sini dibutuhkan suatu Rencana Bisnis yang mantap untuk mengantisipasi ketidak pastian usaha tersebut. Secara ideal, resep untuk membangun bisnis baru yang sukses adalah kepiawaian tim manajemen dan prospek pasar yang masih sangat besar.
Sekolah bisnis dapat berperan untuk mengajarkan teknik dan metode evaluasi pasar, manajemen yang baik serta berperan sebagai moderator untuk interaksi dengan para Entrepreneur pendahulu. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi dan mengasah ketajaman Entrepreneur baru dalam membaca prospek pasar.
III.1. Kesempatan
Kepercayaan bahwa suatu bisnis baru haruslah unik, tampaknya tidak relevan. Suatu ide yang bagus dapat muncul di pikiran beberapa orang di seluruh dunia secara bersamaan. Berdasarkan referensi, Darwin hampir didahului oleh Wallace dalam mempublikasikan teori mengenai evolusi, dan Poincaré memformulasikan teori relativitas pada saat yang hampir bersamaan dengan Einstein.
Kesempatan untuk menjadi Entrepreneur membutuhkan lebih dari ide brilian, kemampuan untuk mengeksekusi ide dengan membaca kebutuhan customer, peluncuran pada timing yang tepat dan manajemen yang baik akan membuat suatu usaha dapat berkembang. Contohnya, J.Co. Kita tidak dapat mengatakan bahwa J.Co adalah suatu ide yang original. Kemiripan produk, layanan, design outlet serta target pasar dengan Krispy Kreme tidak dapat dipungkiri. Namun kemampuan Johnny Andrean dalam membaca peluang pasar memang luar biasa. Banyaknya masyarakat kalangan atas di kota besar yang pernah tinggal atau berkunjung keluar negeri, khususnya AS, membuat popularitas J.Co ini mudah diangkat karena sangat mengingatkan mereka kepada Krispy Kreme. Namun yang lebih fenomenal, adalah kemampuan J.Co untuk melakukan marketing mouth to mouth, dengan menciptakan antrian luar biasa di setiap outletnya. Walaupun banyak pihak yang mengatakan bahwa antrian tersebut sesungguhnya adalah aktifitas promosi yang diorganisir, setidaknya pada permulaan, namun waktu telah membuktikan bahwa ”It Works!”.
Apakah Johnny Andrean pernah mengambil mata kuliah Entrepreneursip? Mungkin tidak. Namun dia membutuhkan waktu bertahun-tahun berkecimpung di dunia retail, sampai akhirnya menemukan strategi marketing yang jitu seperti contoh di atas. Proses inilah yang diharapkan dapat dipercepat dengan adanya sekolah bisnis dan Entrepreneurship.
III.2. Sang Entrepreneur
Inovasi yang baik akan sukses jika diimplementasi oleh seseorang dengan kemampuan entrepreneurship dan manajemen yang baik. Apa sajakah kemampuan yang idealnya dibutuhkan?
Pertama, berpengalaman di industri yang relevan. Tidak ada istilah ”on the job training” dalam entrepreneurship. Suatu kesalahan dapat menyebabkan biaya yang tidak sedikit. Maka, jika perintis bisnis ini tidak memiliki pengalaman yang relevan, sebaiknya mencari partner yangmemilikinya.
Kedua, pengalaman manajemen. Terutama dalam hal pengaturan anggaran keuangan, profit, laba rugi dan pemasaran.
Kisah sukses J.Co memang menguatkan Johnny Andrean sebagai pengusaha retail yang sukses. Terbukti juga dengan usaha-usaha retail sebelumnya, seperti Bread Talk dan Salon Johny Andrean.
III.3. Sumber Daya
Entrepreneur harus sangat berhati-hati dalam penggunaan sumber dayanya, karena pada umumnya bersifat terbatas. Caranya dengan menekan overhead, produktifitas yang tinggi dan minimalisasi kepemilikan capital asset.
Efektifitas penggunaan sumber daya dirancang berdasakan faktor penting bagi bisnis yang bersangkutan. Contohnya, jika berbisnis retail maka lokasi menjadi faktor yang paling penting. Dana pun harus dialokasikan lebih untuk mendapatkan lokasi yang terbaik. Hal ini juga mendasari pemilihan lokasi Starbuks di Indonesia, yang sebagian besar berada di mall. Mall dianggap adalah lokasi yang paling tepat untuk menarik customer kedai kopi, walaupun harga sewanya jauh lebih mahal.
Hal penting lainnya dalam manajemen sumber daya ini adalah keputusan untuk Buy/ Make. Pada suatu perusahaan manufacturing, pekerjaan design untuk packaging yang sifatnya tidak rutin dan tidak rahasia akan lebih efektif jika disub kontrakan. Dengan demikian tidak ada overhead yang dikeluarkan, seperti payroll, graphic software, dsb, untuk mempekerjakan designer tersebut.
Setelah mematangkan inovasi, menaksir kebutuhan sumber daya untuk berkembang, membuat rencana bisnis dan menghitung kebutuhan modal. Maka selanjutnya adalah bagaimana cara mendapatkan modal tersebut?
Modal dapat diperoleh dari hutang dan ekuitas. Dengan hutang, entrepreneur tidak perlu membagi kepemilikan perusahaan. Namun harus mampu mengembalikan pokok hutang beserta dengan bunganya. Dengan masuknya ekuitas pihak lain, entrepreneur harus membagi kepemilikannya. Namun ekuitas tersebut tidak perlu dikembalikan jika perusahaan belum mengalami keuntungan.
Kenyataannya perusahaan baru sulit untuk mendapatkan hutang, maupun ekuitas dari pihak independen. Maka biasanya mereka menggunakan ekuitas sendiri yang berasal dari tabungan pribadi maupun keluarga.
Steven Jobs dan Stephan Wozniak memulai usaha mereka, Apple, di garasi rumah orang tua Jobs dengan modal awal US$1,300. Modal ini diperoleh dari penjualan mobil Volkswagen Jobs dan Calculator Wozniak. Saat membutuhkan modal tambahan untuk ekspansi bisnis, mereka mencoba ke beberapa pihak dan ditolak. Sampai kemudian mereka bertemu dengan Armas Markkula, Jr., seorang pensiunan dari Intel, yang melihat besarnya potensi Apple. Markkula menginvestasikan dana pribadinya di Apple, menyusun suatu rencana bisnis komplit dan mengusahakannya mendapat kucuran dana dari Venture Capitalist pada tahun1977. Selanjutnya Apple berkembang, dan menjadi fenomena sendiri di industri high tech dunia.
Selanjutnya, setelah mendapatkan modal usaha, usaha itu sendiri harus dapat menghasilkan profit yang cukup setidaknya untuk memberikan penghasilan pada entrepreneur secara layak. Jika seseorang meninggalkan pekerjaan tetapnya dengan gaji Rp.10 juta perbulan untuk memulai suatu usaha, maka idealnya usaha itu dapat menghasilkan profit yang mampu memberikan penghasilan setidaknya Rp.10 juta per bulan juga untuk orang tersebut. Disamping itu, profit juga harus dihasilkan untuk memberikan return terhadap investasi yang telah dilakukan.
Kadangkala pada suatu bisnis, menghasilkan profit di atas kertas namun menunjukan cash flow yang negatif. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena cash flow yang dihasilkan tidak cukup untuk menunjang perkembangan bisnis tersebut yang membutuhkan peningkatan modal kerja dan aset jangka panjang seperti mesin dan pabrik. Karena itu, suatu bisnis yang berkembang harus berhati-hati dalam mengatur cash flow nya.
IV. Resep Keberhasilan Entrepreneurship
Bygrave (1997) memformulasikan resep keberhasilan suatu perusahaan baru menjadi 9 F berikut ini.
Founders
Perusahaan baru yang mampu berkembang, tentunya dilahirkan oleh seorang Entrepreneur yang berbakat. Bakat ini adalah bawaan, namun dapat distimulasi, sehingga muncul secara optimal pada diri seseorang.
Focused
Perusahaan baru menggarap pasar secara fokus.
Fast
Cepat dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikannya.
Flexible
Memiliki pikiran yang terbuka dan mampu merespon perubahan dengan baik.
Forever - Innovating
Tidak pernah kehabisan ide dan berinovasi.
Flat
Memiliki organisasi yang ringkas.
Frugal
Memangkas biaya dengan cara menekan overhead dan meningkatkan produktifitas.
Friendly
Ramah kepada customer, supplier dan karyawan.
Fun
Kesenangan inilah yang menyebabkan masalah menjadi tantangan, dan bekerja menjadi tidak melelahkan.
Tabel 2. Resep Keberhasilan 9 F
V. Kesimpulan
Proses Entrepreneurial dapat dimediasikan oleh institusi pendidikan. Karena institusi ini dapat menjadi inkubator yang bukan hanya mematangkan ide, namun juga media tempat bertemunya innovasi, tim manajemen dan modal. Sehingga dapat memunculkan bakat seseorang secara optimal. Selain itu, dengan ilmu yang cukup, diharapkan dapat melahirkan Entrepreneur dengan intelektualitas tinggi, yang mampu membangun suatu enterprise yang lebih baik.
Entrepreneurship dapat diajarkan. Sehingga seseorang yang memiliki ketertarikan untuk membangun usaha sendiri mengetahui metodologi serta proses-proses yang harus dihadapinya. Namun dengan analogi bahwa semua orang bisa belajar bermain sepak bola, namun tidak semua bisa menyamai David Beckham. Maka dalam hal ini juga berlaku, bahwa orang yang mempelajari dan melakoni Entrepreneurship dengan tekun, tidak terjamin akan menjadi seorang Bill Gates.
Adanya mata kuliah Entrepreneurship di sekolah bisnis di Indonesia, tergantung pada kondisi ekonomi negara. Jika kondusif bagi entrepreneurship, dan semakin banyaknya kebutuhan untuk menciptakan Entrepreneur dengan intelektualitas yang tinggi, tentunya peran sekolah bisnis untuk membantu mewujudkannya menjadi penting.
Daftar Pustaka
William D. Bygrave, “Portable MBA in Entrepreneurship”, 2nd Ed., John Wiley & Sons, Inc., 1997.
Keri Susanto, Bagja Hidayat, “Melesat Setelah Krisis”, Tempo, Edisi 25 September - 1 Oktober 2006.
Metta Dharmasaputra, “Setingkat Di Atas Liem”, Tempo, Edisi 25 September - 1 Oktober 2006.
Sudarmadi, “Parade 50 Entrepreneur Kinclong”, SWA sembada, Edisi 20 Desember 2006 – 3 Januari 2007.
Mu’minah, I. 2001. Mempelajari Tarikan Pasar di Pangandaran. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Stefanus Osa Triyatna, “Banyak Program, Penyerapan Rendah. Investasi UMKM Semakin Meningkat”, Kompas, Edisi 11 Agustus 2006.
Sulasmi. 1989. Karakteristik 22 Pengusaha Wanita di Bandung. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Tentang Penulis
Safitri Siswono, ST., MM adalah alumni Prasetiya Mulya Business School, Program Eksekutif Muda Angkatan 8. Pernah bekerja di PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan posisi terakhir sebagai Business Development Manager. Tahun 2004, mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consumer foods, PT. Ciptafood Makmur Mandiri. Selain itu, juga memimpin dan memiliki perusahan investasi PT. Arthaguna Ciptasarana.
Studi Empirik Pengaruh Modal Insani Tim Terhadap Keahlian Bekerja Tim, dengan Variabel Moderator Organisasi, Manusia, Pengetahuan dan Teknologi
Pesatnya perkembangan naluri intelektual dan naluri kemanusiaan manusia, telah menyebabkan dunia berada pada era informasi dan teknologi. Hal ini mendorong terbentuknya masyarakat pengetahuan, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari manusia-manusia yang memiliki sumber daya (Hartanto, 1995). Manusia bersumber daya ini memiliki kompetensi serta wawasan aspiratif dan etikal untuk secara mandiri maupun kelompok, mampu dan mau melaksanakan kerja dengan cerdas dan kompetitif kooperatif, bagi kepentingan dan kemajuan organisasi. Menurut Hartanto (1998 ) dalam lingkungan masyarakat pengetahuan, modus untuk mengembangkan dan menumbuhkan organisasi adalah kemampuan untuk beradaptasi (belajar) dan bukan optimasi. Era informasi dan teknologi mendorong peningkatan laju perkembangan dan perubahan lingkungan usaha, sehingga persaingan antar perusahaan pun menjadi semakin ketat. Dengan demikian, keunggulan perusahaan dalam dunia usaha perlu didukung dengan upaya memaksimalkan potensi para karyawan yang mampu beradaptasi (belajar). Ends dan Page (1977) mengatakan bahwa proses bekerja dalam tim dapat menciptakan sinergi dari potensi anggotanya secara kooperatif dan terkoordinir, sehingga dapat meningkatkan performansi perusahaan. Karena itu modal insani tim, yaitu potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh tim, harus selalu dikembangkan guna mendukung proses pembelajaran (team learning) yang akan menunjang keunggulan suatu perusahaan. Menurut Marquardt (1996), suatu tim mampu melakukan proses pembelajaran, jika memiliki modal insani berfikir sistem, kemampuan personal, belajar tim, dialog, berbagi visi dan model mental. Efektivitas upaya peningkatan modal insani tim ini harus didukung oleh faktor pemberdaya yang ada dilingkungan kerjanya.Oleh Marquardt (1996) faktor-faktor pemberdaya ini dirumuskan sebagai pemberdaya organisasi (organization),pemberdayaan manusia atau stakeholder (people), pemberdaya teknologi (technologie) dan pemberdaya manajemen pengetahuan/informasi (knowledge). Peningkatan modal insani ini diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap keahlian tim. Modal insani yang baik dari suatu tim pada hakikatnya hanya akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap keunggulan usaha, yang merupakan tujuan utama setiap perusahaan/organisasi, jika potensi tersebut dapat direalisasikan menjadi keahlian tim tersebut dalam menangani pekerjaannya sehari-hari. Menurut Guns (1996: 97), keahlian tim dalam keahlian tim dalam bekerja menurut kompetensi- kompetensi khusus yang secara signifikan akan memberikan kontribusi yang berarti bagi keunggulan suatu usaha.